Suatu siang di kota hujan, gue berada diantara ribuan angkot yang berjubel memenuhi jalanan, gue kejebak macet di pasar anyar. Ditengah macet parah, gue melamun keluar angkot dan gue dapatin sederet pedangang lengkap dengan barang dagangannya, berusaha memikat pembeli, dan selalu aja ada orang yang mampir atau paling tidak milih-milih dan cuma nanya harga doang. Beberapa saat kemudian baru gue nyadar ternyata emang ada yang beda dengan pemandangan ini, jumlah barang yg di dagangkan lebih banyak, jumlah orang yang lalu lalang juga lebih banyak, macem/jenis dagangan juga lebih bervariasi. Jelas banget kalo pasar yang tiap hari gue lewatin ini, emang sekarang nampak lebih hidup. Engga ada yang istimewa akhir-akhir ini, kecuali,… sekarang bulan puasa, iya bulan puasa.
Hmmm jadi inget gue obrolan dengan temen soal keberhasilan doi jualan HP dengan keuntungan per unit yg cukup lumayan, plus perkembangan dagang dia dan rencana-rencana kedepan. Masih inget juga berita pagi ini soal harga sembako yang beranjak melangit, dan yang paling gress adalah harga tiket yg naik ugal-ugalan dibanding tahun kemaren, Hei guys, this all happened during Ramadhan, ya ini adalah kondisi klasik Ramadhan dinegeri kita. Sepertinya tidak ada yang baru dari fakta yang gue sodorin, karena emang kita udah biasa banget ngadepin suasana seperti ini, menyedihkan ya? Loh kok menyedihkan?
Kapitalisasi dalam Agama kita
Gue yakin kapitalisme bukanlah kata baru lagi bagi kamu, tapi mari kita samakan pemahaman dulu sebelumnya. Kapitalisme gue definisikan sebagai sistem ekonomi dimana produksi barang dilakukan oleh individu/private (bukan negara) dan dilakukan semata untuk tujuan profit. Supply dan Demand, harga dan investasi semuanya juga dikendalikan oleh sektor private (bukan negara) dalam sebuah pasar bebas (pasar dengan persaingan bebas tanpa aturan).
Melonjaknya harga hampir pada semua sektor, perputaran uang yang lebih cepat, pergerakan sektor riil dipasar-pasar tradisional mengindikasikan bergairahnya pasar, meningkatnya demand (permintaan) masyarakat yang pada kahirnya memicu kenaikan harga berantai. Bila harga menjadi tinggi, beban hidup yang harus di emban masyarakat juga semakin berat, menyedihkannya kondisi ini terjadi setiap tahun, ketika Ramadhan bro!
Kapitalisme diam-diam telah mencemari suasana Khusyuk Ramadhan kita, bulan yang seharusnya mengajarkan kita bagaimana menghargai rasa lapar dan haus, Bulan dimana kita ditempa untuk mampu mengendalikan diri dengan lebih baik, ternyata malah sebaliknya. Statistik menunjukkan tingkat konsumerisme masyarakat kita yang melonjak tajam, justru selama bulan Ramadhan. Keuntungan mengalir bak air bah ke pemilik modal kuat, dimana mereka telah mempersiapkan diri untuk mengkapitalisasi Ramadhan.
Hingar bingar industri ramadhan merambah juga sektor media elektronik, hal ini ditandai dengan banyaknya stasiun TV yang melaunching program special Ramadan, dari program yang bersifat religi, film hingga komedi digelar bak dagangan dipasar pagi. Setiap hari acara-acara ini lah yang menemani sebagain besar muslim di Indonesia dalam melalui waktu sahur dan buka puasa kita. Hampir bisa dipastikan selama sahur dan buka puasa, TV dinyalain, entah ditonton atau tidak, dijutaan rumah muslim di Indonesia. Dengan kondisi semacam ini, stasiun TV memiliki kesempatan emas untuk bisa mencetak box office dari program/acara yang mereka tayangkan, yang pada akhirnya membawa keuntungan besar bagi stasiun TV dari para peng-iklan yang berebut jatah tayang iklan walaupun dengan harga premium.
Engga heran kalo selama Ramadhan, penjualan baju dan aksesoris muslim juga meningkat, tradisi menggunakan baju baru selama lebaran, emang engga ada matinya. Artis,politikus dan para pelakon TV pun seketika didandanin islami selama bulan Ramadhan. Acap kali para public figure ini, menggunakan momentum Ramadhon untuk mengenalkan “trend fasion” baru. Kalo kamu udah berencana bakal pake baju koko lengan pendek, dipadu dengan sandal model ‘croc’ dan tentengan HP QWERTY, gue jamin, tahun ini kamu bakan mati gaya abis, karena emang gaya seperti ini yang lagi laku banget saat tulisan ini dibikin. Bisa kebayang engga kalo 50% aja muslim pake gaya beginian waktu lebaran, boring banget engga sih ngelihat-nya? Inget, Allah saja menciptakan setiap manusia unik, alias engga ada yang sama, so kamu engga perlu ikut-ikutan deh, karena gue yakin engga ada satupun sobat GI yang pengen tampilan lebarannya “pasaran” banget kan?
Pelajaran Ramadhan
Ramadhan mengeajarkan pada kita untuk mampu mengendalikan diri, mengendalikan rasa haus dan lapar yang merupakan ‘basic needs’ manusia, mengendalikan hawa nafsu yang sebagian besar melekat pada kenikmatan dunia. Pelajaran utama Ramadhan adalah untuk mengendalikan ‘kedunia-an’ kita untuk lebih fokus pada akhirat kita. Dalam kenyataan-nya, yang terjadi adalah kita justru lebih terfokus ke hal-hal duniawi selama bulan Ramadhan dibanding bulan lainnya. Sehingga muncul pertanyaan besar, bagaimana kualitas keislaman kita? apakah layak kita disebut sebagai muslim yang kuat? to be honest, kita sangat lemah bro!
Selama Ramadhan seharusnya tingkat konsumsi kita menurun, karena makan dibatasi dan ketika kita ‘lemes’ keinginan lainnya pun menjadi berkurang. Kalo kita puasa, seharusnya perut kita jadi lebih kecil (cepet kenyang) bukan malah sebaliknya. Selama Ramadhan fokus kita harusnya lebih banyak ke akhirat, bukan malah sebaliknya, jadi dalam kondisi yang ideal, selama Ramadhan, harga-harga menjadi lebih murah (turun) karena demand berkurang, acara TV juga berkurang jam tayang-nya karena orang pada males nonton TV, karena lebih seneng ke mesjid dan pengajian.
Ramadhan juga mengajarkan ketika manusia mulai menginjeksi tradisi baru dalam agama ini, seabrek masalah pun mucul. Kalo kita tengok kembali ajaran Ramadhan bukanlah seperti yang kita rayakan selaman ini. Engga ada tuh perintah untuk pake baju baru selama lebaran, engga ada perintah dalam agama ini untuk ngabuburit ataupun sekatenan di jawa, engga ada juga perintah menjual dan nyalain petasan. Bro en Sis, ketika tradisi sudah disandingkan dengan syariat, maka kehancuran lah yang akan terjadi.
Kehancuran yang disebabkan percampuran antara yang haq dengan yang bathil bukanlah hal yang baru. Berapa banyak kaum terdahulu yang mengalami kehancuran disebabkan mereka mencampur-adukkan antara yang haq dengan yang bathil? Ingatlah “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Al-An’am: 82)
Khulasooh
Bro en Sis, kondisi Ramadhan tiap tahun yang kita lalui cukuplah menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk sadar bagaimana lemah-nya keislaman kita, wasapadai semua hal yang ditambahkan kedalam agama ini, baik yang dianggep sebagai tradisi ataupun budaya, kalo engga bertentangan emang engga masalah, cuma engga semua yang tidak bertentangan tersebut tidak bermasalah pada akhirnya. Tidak mudah merubah budaya Ramadhan di Indonesia, apalagi budaya yang telah diwariskan turun temurun. Allah berfirman yang artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Q.S. Al-Baqarah: 170)
Bro en Sis, berhentilah menambahkan tradisi engga berguna kedalam Agama kita, tidak perlu kita mengulangi kesalahan yang sama seperti kaum-kaum sebelum kita. Wapadai komersialisasi selama Ramadhan, jangan mau kita dijadikan obyek exploitasi.
Mari kita retas Ramadhan dengan cara yang benar, sesuai yang maksud oleh syariat. Aribowo [aribowo@gaulislam.com]
Note: Artikel ini karena sesuatu dan lain hal (klasik banget yak) engga lolos cetak di buletin GI, dari pada sia-sia posting aja deh disini, siapa tahu bermanfaat. (gi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar