Surat dan Tukang Pos
Bayangkan kejadian seperti ini terjadi pada kita. Kita sedang duduk santai di suatu pagi yang cerah di hari libur, sambil menikmati secangkir kopi hangat dan sepiring pisang goreng buatan istri tercinta. Tiba-tiba datang seorang tukang pos yang menyerahkan sepucuk surat dengan cara dilempar ...
Asal tahu saja, inilah pelajaran pertama yang saya dapat dari guru kehidupan saya, seorang atheis asal Yugoslavia yang sudah menjadi warga negara Australia. Saya memanggilnya Mirek.
Ia lebih sering melontarkan pertanyaan kontemplatif daripada memberikan pernyataan yang menggurui. Untuk hal di atas, ia bertanya, mana lebih penting, memarahi atau menggebuki tukang pos atau membaca pesan dalam surat?
Jawaban sadar saya atas pertanyaan itu, tentu saja yang terpenting adalah membaca pesannya. Bahkan dengan sombongnya saya mengatakan, baca suratnya, lupakan tukang posnya!
Tetapi jawaban seperti itu lebih sering ada pada tataran teori. Pada prakteknya, akan ada banyak respon, yang tergantung pada kebiasaan. Bisa jadi kita bertanya padanya, mengapa dilempar? Mungkin kita marah-marah dan menuding sang tukang pos tidak sopan. Atau lebih parah lagi. Kita bangkit dari duduk dan langsung menggebukinya. Pesan penting yang tertulis dalam suratnya, bisa jadi terlupakan!
Begitu banyak kejadian, yang membuat kondisi semakin memburuk, justru karena kita lebih fokus pada tukang pos. Dalam berbagai kasus, saya lebih sering lupa membaca isi pesan, karena lebih fokus pada ketidak-sopanan si tukang pos. Kalau ingat pelajaran ini, saya jadi sering tertawa sendiri. Betapa seringnya saya bertindak begitu bodohnya.
So, kalau hari ini atau esok lusa, ada seseorang menyumpah-serapahi anda, atau membuat anda sakit hati karena dihina, ingatlah pelajarannya. Fokuslah untuk membaca isi pesan dalam surat. Jangan fokus pada kemarahan karena tukang pos sudah berlaku kurang sopan!
(Sudah dimuat di rubrik Inspirasi Harian Semarang, Sabtu, 22 Mei 2010/wi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar