03 Agustus 2011

Berkembangnya Demokrasi Korporasi & Politik Munafik

Demokrasi yang kini dikembangkan penguasa adalah demokrasi korporasi karena dananya berasal dari sumber-sumber ilegal. Sedangkan prilaku politik yang ditunjukkan Parpol adalah politik munafik. Hukum kita mestinya dapat menganulir Kongres Parpol yang menggunakan dana APBN secara tidak sah. Bahkan hukum harus bisa membatalkan kemenangan pemilu Parpol yang mengorupsi APBN.

Demikian yang mengemuka dalam Diskusi Perubahan bertema Bahaya Demokrasi Uang dan Hipokrasi Partai Poltik, yang diselenggarakan Rumah Perubahan 2.0, Selasa (2/7).

Hadir sebagai pembicara advokat Iskandar Sonhaji, Direktur Eksekutif LIngkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti, pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie M. Massardi.

Menurut Noorsy, demokrasi korporasi ditunjukkan dengan tidak jelasnya sumber dana Parpol. Sudah bukan rahasia lagi bila Parpol meraup dana dari sumber-sumber illegal. Antara lain dari perusahaan, baik swasta maupun BUMN. Kasus terbaru soal ini adalah terkuaknya korupsi pembangunan wisma atlet di Palembang yang pendanaannya diambil dari APBN. Dalam pelariannya, mantan Bendahara Umum Partai Demorkat M. Nazarudin mengatakan US$20 juta dana talangan pembangunan itu mengalir ke Kongres PD di Bandung yang mengantarkan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum. Pada kasus ini, melibatkan dua BUMN, yaitu Cipta Karya dan Adhi Karya.

“Hal serupa juga terjadi di swasta, terutama perusahaan migas. Tiap perusahaan sudah mengalokasikan biaya politik. Itulah sebabnya cost recovery dari waktu ke waktu terus naik jumlahnya,” papar Noorsy.

Bubarkan Parpol

Pada konteks ini, Ray Rangkuti melontarkan pertanyaan kemungkinan membubarkan Parpol yang menggunakan dana APBN secara tidak sah. Namun pertanyaan itu akhirnya dimentahkannya sendiri, karena UU Parpol, bahkan termasuk revisinya, sama sekali tidak menyinggung-nyinggung sanksi bagi Parpol yang mengorupsi APBN untuk operasionalnya. UU hanya menyebutkan, Parpol hanya bisa dibubarkan jika ideologinya bertentangan dengan Pancasila atau berideologi komunis atau atheis.

Meski demikian, Ray menggunggat keabsahan sebuah kongres Parpol yang menggunakan dana APBN secara tidak sah. Hukum negara memungkinkan pembatalan kongres yang dimenangi kandidat tertentu, bila yang bersangkutan terbukti menggunakan dana APBN secara tidak sah. Bahkan pengadilan bisa membatalkan kemenangan pemilu Parpol tersebut.

Noorsy menyebutkan setiap tahun peluang korupsi APBN untuk Parpol selalu terbuka lebar. Pasal 8 UU No.17/2003 yang disponsori oleh Bank Dunia, menyebutkan Menteri Keuangan adalah pelaksana kuasa Presiden dalam hal keuangan negara. Wewenang ini meliputi perencanaan, penerimaan, pembelanjaan, dan pemeriksaan.

“Wewenang yang bertumpuk-tumpuk dan terpusat di satu tangan ini membuat peluang terjadinya korupsi APBN untuk Parpol sangat besar. Itulah sebabnya para petahana (incumbent) tidak pernah khawatir saat mereka harus bertarung untuk memperpanjang kekuasaannya. Pasalnya, mereka punya sumber dana yang sangat besar dari APBN. Belum lagi sumber dana illegal dari dunia usaha, baik swasta maupun BUMN,” paparnya.

Ulah Oknum?

Akrobat demokrasi korporasi dan perilaku politik munafik ini ditambah dengan pernyataan sejumlah petinggi Partai Demokrat. Mereka ramai-ramai mengatakan, apa yang dilakukan Nazarudin adalah ulah oknum, bukan partai. Bahkan setelah Nazarduin dicopot dari posisinya sebagai Bandahara Umum dan anggota DPR, Partai Demokrat terkesan cuci tangan dengan mengatakan biarlah persoalannya ditangani negara.

Mengenai soal ini, Adhie M. Massardi mengingatkan, waktu Kongres Bandung berlangsung, posisi Anas adalah Ketua Fraksi sedangkan Nazarudin adala wakilnya. Amat sulit diterima akal, bila ulah Ketua dan Wakil Ketua Fraksi itu tidak diketahui SBY selaku Ketua Dewan Pembina. Apalagi, di awal “nyanyiannya”, Nazaruddin menyebutkan dana itu juga mengalir ke Andi Malarengeng dan Sekjen Edhie Baskoro alias Ibas yang juga anak kandung SBY.

“Tidak bisa tidak, apa yang dilakukan Nazaruddin dan Anas pasti diketahui Partai. Sebagai Ketua Dewan Pembina dan Dewan Penasehat, mustahil jika SBY tidak tahu. Kalau pun dia tidak tahu, lalu apa saja yang dilakukannya selama ini. Inilah yang disebut kemunafikan politik,” ujar Adhie. mnh/abdulrachim/em

1 komentar:

  1. POLISI TOLONG JANGAN MELAKUKAN KEMUNAFIKAN BERSAMA PARTAI DEMOKRAT.TOLONG POLISI BEKERJA DENGAN JUJUR, BENAR DAN BERTANGGUNG JAWAB DEMI KEMAJUAN BANGSA BUKAN DEMI PARTAI DEMOKRAT. POLISI JUJUR DAN BENAR AKAN DICINTAI RAKYAT TETAPI KALAU POLITIK MENGIKUTI KEMUNAFIKAN BERSAMA PARTAI DEMOKRAT MAKA TUNGGULAH REVOLUSI RAKYAT. ANAS URBANINGRUM ADALAH MANUSIA MUNAFIK. ANAS TAHU BAGAIMANA MELAKUKAN SESUATU DENGAN BENAR DAN TAHU TEKNIK-TEKNIK BERBOHONG NAMUN DISAYANGKAN ANAS MEMILIH MENJADI MANUSIA BUSUK DAN MUNAFIK AKHIRNYA ILMU BERBOHONGPUN DI TERAPKAN UNTUK MEMBODOHI RAKYAT INDONESIA. SUNGGUH ANAS ADALAH MANUSIA LAKNAK

    BalasHapus