oleh Mashadi
Orang-orang yang menjadikan materi dan kepentingan dunia sebagai ikatan (tali buhul), maka hanyalah akan menyebabkan kehinaan dan kehancuran. Sejarah sudah membuktikan secara imperik, fakta-fakta kehancuran bagi siapa saja, yang membuat ikatan berdasarkan materi dan kepentingan dunia. Terjadi sepanjang sejarah kehidupan umat manusia.
Sejarah memberikan gambaran yang jelas, bagi siapa saja yang menyadarkan ikatannya dengan materi dan kepentingan dunia, akhirnya hanya terjatuh ke jurang kehinaan, dan menjadi manusia yang tidak berharga dihadapan sejarah umat manusia, dan juga kelak di akhirat. Tidak bisa lari dari kondisi itu. Ikatan yang mereka bangun hanya semu (artifisial), bahkan al-Qur’an menggambarkan seperti ‘sarang labah-labah’ (al-ankabut).
Dalam fase tertentu manusia satu sama lainnya, yang diikat berdasarkan ikatan materi dan kepentingan dunia, pasti akan diuji dengan nafsu masing-masing, nafsu yang tidak pernah dapat memuaskan siapapun. Manusia itu sendiri. Karena itu, ikatan yang mula-mula nampak kokoh dan kuat, kemudian menjadi porak-poranda. Manusia satu sama lainnya akan berebut dengan materi dan kenikmatan dunia. Akhirnya yang ada hanyalah permusuhan, seperti saling menfitnah, saling menuduh, saling menghancurkan, dan saling membunuh.
Mereka pasti akan memperebutkan sekerat materi dan kenikmatan dunia, yang menjadi kepentingan dan ittijah (orientasi) hidup mereka. Diantara mereka yang sudah memiliki materi tidak akan pernah terpuaskan dengan materi yang dimilikinya. Diantara mereka yang sudah berkuasa akan mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara. Tanpa peduli. Mereka yang belum mendapatkan kekuasaan dengan segala cara akan mendapatkan kekuasaan. Masing-masing berebut. Tidak pernah usai. Terus belangsung sepanjang kehidupan ini. Sampai sebuah kehancuran yang akan menjadi sebuah fakta kehidupan.
Kisah yang paling tua, cerita tentang ‘Habil-Qabil’, hanya karena seorang wanita, yang akhirnya diantara kakak beradik itu tega membunuh. Padahal diantara mereka adalah saudara. Kalau yang menjadi tujuan dan ittijah adalah materi dan kepentingan dunia, maka rasa persaudaraan menjadi hilang, dan tidak ada yang mau mengalah, dan salah satunya harus memenangkan, dan demi mendapatkan yang menjadi tujuannya.
Kepentingan materi dan kepentingan dunia, hanyalah melahirkan permusuhan, kebencian, dendam, dan saling mendurhaka. Tidak ada ketulusan dalam hubungan. Semuanya hanyalah berdasarkan kepura-puraan. Satu sama lainnya, saling bersiasat dan mensiasati, dan ingin menguasai. Mereka yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan dan yang menjadi kepentingan mereka akan disingkirkan. Ini sudah menjadi bagian dari sebuah sejarah, terutama mereka yang ikatannya berdasarkan kepentingan materi dan kenikmatan dunia.
Al-Qur’an memperagakan kisah yang sangat luar biasa bagi kehidupan ini. Terutama kisah ‘Triumvirat’, yang pernah berkuasa di Mesir kuno. Yaitu Fir’aun, Haman, dan Qarun. Triumvirat ‘Fir’aun, Haman, dan Qarun’, menyatu menjadi sebuah oligarki kekuasaan yang solid. Satu sama lain saling menopang dan menyokong. Seakan mereka itu menjadi simbul kekuatan kekuasaan, yang maha kuat, dan kokoh. Tak aneh bila sang penguasa yang adi daya ‘Fir’aun’, sampai berani dengan sikapnya yang sangat sombong, mengatakan, ‘Ana robbukumul ‘a’la’ (Aku tuhanmu yang maha tinggi).
Manusia yang sudah memiliki materi dan kekuasaan yang lebih, lalu pasti akan berlaku sombong, tidak mengingat asal kejadiannya, dan kemudian menapikan yang menciptakannya, yaitu Allah Rabbul Alamin.
Tetapi, sekali lagi mereka itu, hanyalah makhluk yang sangat lemah, tidak berarti apa-apa dihadapan Zat Yang Maha Kuasa, yaitu Allah Azza Wa Jalla. Betapa Fir’aun seorang penguasa yang memimpin oligarki yang sangat tanggguh di hadapan manusia, serta dengan dukungan balatentaranya yang kuat, tak dapat mengalahkan Kemahakuasaan Allah Azza Jalla.
Semuanya dibuktikan ketika balatentara Fir’aun yang mengejar Musa dan kaumnya, di laut Merah, mereka semuanya tenggelam di dasar laut. Tidak dapat melawan keagungan dan kekuasaan Allah Azza Wa Jalla. Pupus manusia yang sombong itu, yang merasa lebih kuat dibandingkan dengan Rabbnya.
Qarun yang mula-mula ulama Yahudi yang miskin, dan kemudian menopang kekuasaan Fir’aun yang lalim, dan kemudian menjadi super elite dan mahakaya, seperti dikisahkan dengan kekayaannya, yang dimiliki Qarun, kunci gudang-gudangnya itu, harus digotong oleh manusia. Ini hanya sebuah padanan mengggambarkan bagiamana Qarun, yang sudah menjadi sangat kaya, dan menjadi salah satu penopang kekuasaan Fir’aun. Tetapi, semuanya itu tidak mempunyai arti apa-apa, ketika Allah Ta’la menghancurkan Qarun, dan memasukkan kedalam bumi, dan harta dan kekuasaannya serta kepentingannya tak dapat menyalamatkan dirinya.
Di zaman ini banyak orang-orang Islam, yang mereka lari dari Islam, tidak lagi percaya terhadap ‘din’ Islam, dan harus menambahkan dengan ‘aksesoris’ buatan manusia, yang sangat dangkal tidak berarti bagi kehidupan. Apalagi, kelak dihadapan Allah Azza Wa Jalla, dan akan mendapatkan kehinaan.
Orang-orang yang tidak percaya lagi dengan ‘din’, dan menukar dengan aksesoris kehidupan dunia, dan bahkan meninggalkan ‘din’, karena hanya ingin sekerat kepentingan materi dan kenikmatan dunia, dan bermesraan dengan musuh-musuh Allah, tak akan pernah mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat. Mereka hanya menjadi sebuah tontonan yang menggelikan, dan tak akan memberi manfaat apapun bagi kehidupan ini.
Tengoklah. “Di tengah suasana ‘maut’ yang begitu mencekam dan menggoncangkan jiwa itu, aku menyaksikan peristiwa yang mengharukan dan mengagumkan. Katika tali gantung telah mengikat leher mereka, masing-masing saling bertausiyah kepada saudaranya, saling berjanji untuk bertemu di Surga, bersama dengan Rasulullah tercinta dan para Sahabat. Tausiyah itu kemudian diakhiri dengan pekikan”Allahu Akbar Wa Lillahil Hamd!”. Aku tergetar mendengarnya, ujar seorang perwira militer Mesir.
Padahal, sebelum digantung, Sayyid Qutb masih memiliki kesempatan untuk dibebaskan, asalkan mau meminta maaf kepada Gamal Abdul Naser.
Beliau mengatakan, “Tidak akan pernah! Aku tidak akan penah bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan Akhirat yang abadi”, tegasnya. Lalu, Sayyid Qutb berujar, “Selamat datang kematian di Jalan Allah .. Sungguh Allah Maha Besar”. Tokoh Ikhwan itu, hanyalah merindukan akhirat, tidak lagi menengok kehidupan dunia. Nama Sayyid Qurb lebih panjang dari pada umurnya. Wallahu’alam. (em)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar