Bantuan obat-obatan dari negara kaya terus membanjiri negara-negara miskin yang berjuang mengatasi wabah penyakit. Di sisi lain, mudahnya akses antibiotik dan antivirus memicu peningkatan resistensi kuman secara global.
Dampaknya, jutaan anak di negara berkembang meninggal setiap tahunnya karena obat-obatan lama tidak mampu lagi mengatasi malaria, tuberculosis (TB), AIDS dan penyakit lain. Selain itu, bantuan untuk pengadaan obat-obat terbaru membengkak hingga 1,5 miliar dolar AS sejak tahun 2006.
Dikutip dari Reuters, Rabu (16/6/2010), sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di AS, Center for Global Development menuding kurangnya perhatian dari negara maju terhadap risiko resistensi sebagai pemicunya. Bantuan yang diberikan dinilai sering berlebihan.
"Resistenti obat pada kuman adalah sesuatu yang alamiah, tetapi kurangnya perhatian dari penyuplai obat dapat mempercepat hal itu," ungkap Rachel Nugent, pimpinan LSM tersebut.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, Nugent mencatat akses negara miskin terhadap obat retrovirus untuk HIV/AIDS meningkat 10 kali lipat. Akses obat antimalaria meningkat di atas 8 kali lipat, sedangkan untuk anti-TB peningkatannya lebih besar lagi.
Sementara hasil penelitian membuktikan, ada keterkaitan erat antara ketersediaan obat di suatu wilayah dengan risiko resistensi kuman. Salah satu contoh, di negara-negara dengan tingkat penggunaan antibiotik paling tinggi, 75-90 persen bakteri Streptococcus pneumoniae menjadi kebal terhadap methicillin.
Resistensi atau kekebalan terhadap obat terjadi ketika pengobatan masih menyisakan sekurang-kurangnya satu mikroba yang masih hidup. Mikroba yang tersisa ini kemudian akan bermutasi, dan membiakkan diri sebagai jenis mikroba yang resisten.
Selain faktor ketersediaan, Nugent juga menuding faktor lain yang memicu resistensi. Di antaranya kualitas obat yang buruk, pemalsuan obat, dan juga pengobatan yang tidak tuntas.
(up/mer/dtk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar