Kritik Terhadap Mitos “Indonesia Merdeka” Selama 65 Tahun
Dalam hitungan hari, Indonesia akan mengalami babak baru. Pada tanggal 17 Agustus 2010. genap sudah Kemerdekaan Indonesia dalam usia ke 65. Bendera merah putih beredar di seantero jagad. Hormat gerak para murid-murid sekolah menyingkapkan tangannya di sisi dahi. P
ara inspektur upcara akan semangat berapi-api menjelaskan kekaguman atas bangsanya yang terbebas dari belenggu negeri Kincir Angin Belanda yang menjajah bumi pertiwi selama 350 tahun. Stasiun-stasiun TV bergantian menayangkan prosesi kirab bendera di pucuk Istana. Lomba-lomba antara kampung menggelegar saling menyambung.
Setelah upacara itu selesai, para murid sekolah melewati kampung-kampung menuju rumah masing-masing. Di tengah jalan, tiba-tiba muka mereka berubah tegang dan sendu. Tanpa sengaja, mereka bertemu anak seusianya yang masih mengais benalu untuk menjadi bahan bakar memasak bambu karena tak sanggup membeli bahan baku.
Sepulang dari Istana pun, para Guru-guru sekolah terlihat menghentikan langkahnya di tengah jalan melihat seorang ibu berpakaian kumuh kesulitan mencari sesuap nasi di tong-tong sampah karena tak sanggup melewati kawat berduri untuk berkeluh kesah kepada para petinggi.
Terbang ke Papua, anak-anak Sekolah ini, tidak tahu bahwa Amerika Serikat dengan senyum lebarnya sedang berjabat tangan kepada birokrat bangsa setelah berhasil merampok emas di Papua. Di pelajaran Geografinya, mereka tidak tahu bahwa Cepu, kekuatan Migas bangsanya sedang dikuasai Amerika. Belum lagi NAMRU.
Belum lagi AMDOCS, perusahaan komunikasi berbasis Israel-Amerika yang menjalar di pusat kuasa. Dan lebih parah Iman bangsanya juga sedang dijajah di atas sebuah meja makan siang bersama Kedubes Amerika. Anak-anak Sekolah itupun kemudian berlarian kembali ke sekolahnya masing-masing dan bertanya kepada Kepala Sekolah, “Pak Guru, betulkah kita sudah Merdeka?”
Mendengar pertanyaan muridnya, sang Kepala Sekolah tertunduk lesu dan mata kepala Sekolah berusia renta itu tertuju pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kemendiknas yang tergeletak di mejanya, yang juga Impor buatan Amerika.
Peran Amerika Serikat dibalik Kemerdekaan Indonesia
Ada yang menarik dalam suatu acara diskusi rutin di Kantor INSISTS. Tiar Anwar Bachtiar, Kandidat Doktor Sejarah Universitas Indonesia, dan juga Peneliti Sejarah di INSISTS, mengungkapkan bahwa sedikit banyak Amerika Serikat memiliki andil dalam memuluskan kemerdekaan Indonesia.
Ia mengungkapkan dalam suatu kajiannya, bahwa Belanda yang hancur lebur dalam PD II akhirnya menerima proposal bantuan recovery dari AS, dengan catatan Belanda harus berniat tulus untuk melepaskan Indonesia sebagai negara merdeka dan mengalihkannya kepada Negeri Paman Sam.
Ternyata ucapan dari Tiar Anwar itu tidak berdiri sendiri. Adalah Francis Gouda, salah seorang Guru Besar Sejarah di jurusan Ilmu Politik Universitas Amsterdam dalam salah satu buku menariknya yang berjudul “Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942”. Menurut Gouda, seperti dikutip salah seorang penulis, menyatakan sadar akan kuatnya posisi Amerika Serikat dalam hubungan internasional paska Perang Dunia II.
Para tokoh-tokoh politik Indonesia mencoba segala usaha untuk menarik simpati Amerika agar mendukung kemerdekaan Indonesia. Salah satu usaha yang dilakukan adalah mengutus beberapa perwakilan Republik Indonesia ke AS. Salah seorang diantaranya adalah Sudarpo Sostrosatomo, pemuda berumur dua puluhan berpendidikan tinggi yang pada 1949 ditugaskan untuk menjadi atase Pers di New York.
Dalam situasi itu, dengan cerdas Sudarpo membandingkan revolusi kemerdekaan Indonesia dengan revolusi Amerika melalui makalahnya yang berjudul “It’s 1776 in Indonesia” dan menyebarkannya kepada para wartawan, pejabat publik Amerika, dan perwakilan internasional di PBB. Perbandingan yang terlalu dipaksakan, namun makalah tersebut cukup menarik perhatian pejabat publik Amerika yang memang selalu mengagung-agungkan deklarasi kemerdekaan Amerika pada tahun 1776.
Sedangkan di dalam negeri, para pemuda nasionalis melakukan aksi coret-coret di spanduk dan tembok-tembok kota dalam bahasa Inggris, mereka tak asal corat-coret, melainkan mengutip kalimat-kalimat pidato tokoh kemerdekaan Amerika seperti Jefferson, Linclon, dan lain-lain. Mereka berharap coret-coretan tersebut bisa menarik simpati pasukan AS di Indonesia.
Tak hanya itu, pemerintah Indonesia juga menerbitkan seri perangko bergambar arsitek utama Republik Indonesia yang disandingkan dengan para tokoh kemerdekaan Amerika, antara lain perangko bergambar George Washington berada dibelakang gambar Soekarno, Hatta bersanding dengan Abraham Lincoln, dan Sjahrir yang bersanding dengan Thomas Jefferson.
Sekalipun Gouda pada kesimpulannya bertindak pesimis menjadikan Amerika sebagai “pihak yang bertanggung jawab” atas kemerdekaan Indonesia, bukti-bukti yang ia ungkapkan dalam bukunya menggambarkan ada satu bentuk besar pengharapan Indonesia kepada Amerika bagi tercapainya kemerdekaan Negara dengan mayoritas muslim ini. Menariknya, sedikit banyak “kenangan indah” ini tertutup dalam pelajaran Sejarah-sejarah kita.
Aset Indonesia yang dikuasi Amerika.
Kini setelah Indonesia dinyatakan sebagai bangsa merdeka sepanjang 65 tahun, sejatinya Indonesia masihlah dijajah. Kiprah AS memberikan kemerdekaan bagi Indonesia, hanya tindakan untuk menggenapi moto bahwa “tidak ada makan siang yang gratis”.
Kita mulai dari tambang emas di ujung Indonesia. Menurut Marwan Batubara, baru pada tahun 1995, Freeport secara’resmi mengakui menambang emas di Papua. Sebelumnya sejak tahun 1973 hingga tahun 1994, Freeport berdalih hanya sebagai penambang tembaga, tidak lebih. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri.
Masih menurut Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara) itu, Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang didalamnya termasuk 50% cadangan emas di kepulauan Indonesia. Namun, sebagai hasil eksploitasi potensi tambang tersebut, hanya sebagian kecil pendapatan yang yang masuk ke kas negara dibandingkan dengan miliaran US$ keuntungan yang diperoleh Freeport. Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.
Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambangnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya (sepanjang 700 km).
Kejinya, untuk menutupi aksi illegal dan korupnya, Freeport-McMoRan disinyalir telah memberi uang kepada Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI agar pertambangan mereka di Papua tidak banyak diganggu, baik oleh pemerintah maupun lembaga nonpemerintah pemerhati lingkungan.
Koran The New York Times telah melakukan investigasi berbulan-bulan untuk mengetahui masalah itu. Koran tersebut berhasil mendapatkan laporan perusahaan Freeport yang menunjukkan, pada 1998-2004 perusahaan tambang emas dan tembaga menghabiskan dana US$ 20 juta atau sekitar Rp 200 miliar untuk personel TNI dan Kepolisian RI.
Belum lagi kita juga melihat kapitalisasi Asing yang menjajah di Indonesia, seperti Exxonmobile. Masih menurut Marwan Batubara, tokoh muslim yang getol membuka aib sumberdaya Indonesia yang dikeruk AS, bahwa porsi bagi hasil Exxon dan pemerintah ditetapkan sebesar 100 : 0.
Artinya, pemerintah sama sekali tidak memperoleh bagi hasil, karena seluruh keuntungan produksi gas yang dihasilkan Natuna merupakan hak milik Exxon selaku kontraktor. Alasannya, eksploitasi D-Alpha Natuna membutuhkan investasi biaya yang besar dan biaya pemisahan CO2 sangat tinggi. Sedangkan potensi penjualan gas saat itu masih rendah.
Karena itu, bagian 100% keuntungan bagi kontraktor dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Lalu bagaimana dengan California Texas (Caltex) yang di Riau, entahlah betapa sumberdaya bangsa ini sudah dipreteli satu persatu.
Itu baru, dari segi Sumberdaya, dalam segi menghancurkan Islam dari akar pemikirannya, Amerika cukup getol memberi beasiswa bagi para Sarjana Muslim. Salah satunya, melalui beasiswa Fullbright. Tak hanya itu, Amerika juga mengucurkan dana untuk membangun American Corner di kampus-kampus bergengsi di Indonesia.
Menyebarkan faham Demokrasi, Pluralisme Agama, Hak Asasi Manusia, Kesetaraan Gender dan sebagainya adalah proyek-proyek think-thank Amerika yang menjadi karakter dasar menghancurkan Islam dari segi yang paling vital, yakni bidang keilmuan. Maka itu, amat wajar jika banyak mahasiswa musim yang pikirannya sudah “sakit”, berkata Usman Bin Affan seorang nepotis. Al Qur’an itu palsu dan gincu. Bahkan ada yang meragukan kenabian Baginda Muhammad SAW. Bagi mereka, Kajian Islam rasa Amerika lebih bernalar!
Bahkan ketika penulis menjadi guru di madrasah, ada survey yang dilakukan lembaga sosial ke sekolah kami untuk mengukur bagaimana tingkat penerimaan siswa terhadap multikulturalisme. Dan yang melakukan survey adalah wanita muslimah berjilbab rapat, tapi secara pemikiran sudah membarat.
Sekalipun track record sekutu-sekutu Asing seperti Amerika yang telah menjajah Indonesia sekian lama, masih ada sebagian umat muslim Indonesia yang nekat memandang Pemerintah Amerika sebagai bangsa bukan rezim, bahkan sampai sekarang tetap menengadahkan tangan meminta belas kasih Obama kepada dunia Islam, hanya karena Pidato Obama di Al Azhar.
Padahal Dunbar Ortiz , Professor Emeritus di Departemen Studi Etnik California State University memberikan respon atas pernyataan Obama, bahwa statement-statement Obama yang simpatik dengan Islam. Ortiz menungkapkan bahwa Amerika Serikat didirikan sebagai negara pendatang dari Eropa dengan peta dan rencana yang telah disiapkan untuk menjajah benua, memperluas 13 daerah koloni dari pendirian negaranya.
Ortiz melanjutkan bahwa Amerika Serikat telah dilahirkan pertama kali sebagai kekuatan penjajah. Wilayahnya yang sangat luas diperoleh dengan cara menduduki, mengokupasi, dan memerintah dengan cara menghancurkan lebih dari 300 suku bangsa yang merupakan penduduk asli. Amerika juga memaksa ratusan hingga ribuan penduduk Missisippi Timur keluar dari kampung halamannya, mengumpulkan mereka berdesak-desakkan di wilayah yang ditinggali suku Indian di Oklahoma.
Amerika dengan rakusnya menganeksasi separuh wilayah Meksiko. Memaksa orang-orang Afrika menjadi budak yang menggarap lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang sangat luas. Dalam abad pertamanya, Amerika memperoleh wilayah dengan cara penaklukan, menciptakan dasar ekonomi untuk industri Kapitalisme yang kemudian mendominasi dunia. Dan hingga kini, di tengah keterpurukannya Amerika tetaplah negara penjajah sejati.
Bangkitlah Indonesia, Harapan Itu Masih (Belum) Ada.
Dengan terpuruknya bangsa ini, kita harusnya sadar. Indonesia memiliki potensi besar menjadi Negara maju dengan fondasi akhlak Islam yang senantiasa bersyukur atas limpahan kekayaan yang diberikan oleh Allah SWT. Lihatlah betapa kayanya negeri ini. Lebih dari 70 persen atau tiga belas juta jenis tumbuhan dan satwa di dunia hidup di hutan tropis Indonesia.
egara yang memiliki 515 jenis mamalia alias binatang menyusui (urutan kedua di dunia, hanya kalah tipis dari Brazil), 39 persennya endemik Indonesia atawa tidak dapat dijumpai di negara lain. Negara paling kaya dengan jumlah jenis burung sebaran-terbatas yang terbanyak di dunia, dan 397 jenis burung hanya dapat ditemukan di negeri kita.
Memiliki sekitar 1.400 jenis hanya dapat disaingi oleh Brazil. Di bidang kelautan, Indonesia memiliki kekayaan jenis terumbu karang dan ikan yang luar biasa, termasuk 97 jenis ikan karang yang hanya hidup di perairan laut Indonesia Indonesia merupakan salah satu pusat kekayaan karang dan ikan di dunia.
Negara itu, negara terkaya dengan lebih dari 38.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi alias tumbuhan yang memiliki akar-batang-daun yang jelas dapat dibedakan. Dengan 477 jenis dan 225 di antaranya endemik, Indonesia memimpin dalam kepemilikan jumlah jenis palem di dunia.
Tidak hanya itu, bahkan Indonesia digadang-gadangkan sebagai benua Atlantis yang hilang dalam buku Prof. Arysio Nunes Dos Santos yang menggemparkan : “Atlantis The Lost Continents Finally Found”. Benua yang diceritakan Plato 2.500 tahun yang lalu itu yang dihuni oleh bangsa Atlantis yang memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan alamnya yang sangat kaya, yang kemudian hilang tenggelam ke dasar laut oleh bencana banjir dan gempa bumi sebagai hukuman dari yang Kuasa.
Bencana ini menyebabkan punahnya 70% dari species mamalia yang hidup saat itu, termasuk kemungkinan juga dua species manusia, yakni Neandertal dan Cro-Magnon. Sebelum terjadinya bencana banjir itu, pulau Sumatera, pulau Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara masih menyatu dengan semenanjung Malaysia dan benua Asia.
Indonesia pula yang diceritakan oleh Perjanjian Lama sebagai tempat Gunung Ofir (terletak di Sumatera), yang menjadi lokasi Abu Hiram mengambil emas untuk dipersembahkan kepada Nabi Sulaiman dalam upaya membangun Istana emasnya.
Pertanyaannya kenapa bangsa besar ini justru jatuh terpuruk? Kenapa bangsa yang kaya dan diberkahi Allah ini seperti termaktub dalam Surat Al Anbiya ayat 81 justru menjadi ladang atas turunnya murka Allah. Kalau kita tanya, bencana apa yang tidak ada di bangsa ini. Hampir semuanya ada.
Permasalahannya, penulis rasa cukup penting. Tidak lain, tidak bukan bahwa kehancuran Indonesia diawali dengan tidak bersyukurnya kita atas nikmat dan berkah yang sudah Allah turunkan. Umat Islam yang justru bahu membahu mengusir penjajah, justru kini dimusuhi, diburu, dibunuh, dan diberangus haknya, lagi-lagi atas dalih terorisme yang lagi-lagi hasil pesanan Kilat Amerika yang mesti dihantar dengan cepat oleh jongos-jongos bangsa ini.
Dari dulu praktik mental-mental penghianat atas tahta dan kuasa sudah berlangsung cukup lama. Ini menjadi kuat aromanya ketika dialektika Jakarta Charter sedang hangat-hangatnya.
Dhurodin Mashad, dalam bukunya “Akar Konflik Politik Islam Di Indonesia”, mencatat, bahwa Piagam Jakarta yang dirumuskan melalui perdebatan panjang, dibatalkan hanya karena usulan satu orang asing: Kaigun Jepang! Singkatnya Opsir Kaigun adalah tokoh yang memberitahu Hatta akan lepasnya Indonesia Timur yang dihuni kaum Kristiani jika masih ngotot mempertahankan Islam sebagai dasar Negara.
Apa yang terjadi, Tokoh-tokoh bangsa yang notabene muslim tapi secular itu, dengan sigap melakukan perubahan Piagam Jakarta dengan waktu yang sangat singkat: 15 Menit.
Padahal betapa panjangnya pertarungan wacana antara Tokoh Islam melawan Tokoh Nasionalis itu yang rasanya tidak pantas dihancurkan dalam waktu belasan menit. Inilah benih-benih mental pengkhianat Bangsa yang notabene sudah berlangusng pada detik-detik kemerdekaan bangsa. Belum jika dihitung pengkianatan dan dusta Soekarno kepada Daud Beureuh yang menjanjikan Aceh sebagai daerah kawawsan syari’at yang lagi-lagi dimentahkan oleh Soekarno.
Oleh karenanya, kita harus Ingat bahwa lawannya syukur adalah kufur. Kekayaan alam yang sedemikian berlimpahnya ini malah membuat kita lalai dan lebih memilih jalan pintas untuk mencapai kekayaan. Bangkitlah Indonesia harapan itu masih belum ada jika kita tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya fihak yang patut kita sembah.
Ingatlah firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 186, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.
Lalu teguran Allah bagi hamba-hambanya yang tidak bersyukur “Bukankah Dia (Allah) yang Memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan Menghilangkan kesusahan dan Menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat.” (QS. An-Naml, 62).
”Satu hal yang amat saya tegaskan di sini adalah keharusan kita untuk kembali kepada Islam. Islam yang benar. Islam yang menyeluruh yang mengembalikan diri kita – sebagaimana yang dulu pernah terjadi – menjadi sebaik-baik ummat yang pernah dihadirkan untuk seluruh ummat manusia. Tanpa kembali kepada Islam, maka nasib yang akan kita alami, sungguh amat mengerikan, dan masa depan pun akan demikian gelap gulitanya.” (Dr. Yusuf Qaradhawi, Mengapa Kita Kalah di Palestina?)
Wallahua’lam (em)
Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, Konselor Muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar