30 Agustus 2010

Batas Waktu Bersetubuh Suami Istri dan Dalil Berbuka Mulai Maghrib

ass.kum wr. wb. ustadz.
saya mau tanya mengenai hubungan suami istri di malam hari bulan Ramadhan. Malam hari mulai jam berapa dan sampai jam berapa. Apakah setelah magrib udah bisa di lakukan? Dan batas akhirnya jam berapa, menurut dalil yang saya ketahui itu sampai waktu fajar. Apakah mandi junubnya bisa dilakukan setelah sahur sebelum subuh. apakah sahurnya sah jika belum mandi junub.terima kasih
Wass.kum wr. wb.

Bang Whem

Batas Waktu Berbuka Puasa
Assalamu'alaikum wr wb

Pak ustadz, saya pengen bertanya tentang batas waktu berbuka. Saya mendengar dari beberapa teman bahwa dalil yang ada mengenai berbuka itu ialah ketika malam, dan menurut pendapat ini tidak ada dalil yang mengindikasikan Rasulullah berbuka ketika azan magrib, tidak seperti imsak yg ada dalilnya saat azan subuh. Yang ada hanyalah dalil mengenai malam dan matahari terbenam yang tidak secara langsung merujuk kepada azan magrib. Lantas kenapa dimana2 orang berbuka puasa di waktu magrib?

Mohon penjelasannya ustadz, terima kasih.

Riko

Bang Whem

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Bang Whem dan Riko yang dirahmati Allah swt

Tentang waktu menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa, seperti : makan, minum dan jima (bersetubuh) disebutkan didalam firman Allah swt :

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ

Artinya : “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqoroh : 187)

Didalam menafsirkan makna ayat diatas, Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah swt membolehkan makan, minum dengan sebelumnya Dia swt juga membolehkan jima’ di malam apapun yang disukai oleh seorang yang berpuasa hingga tampak dibedakan sinar pagi dari gelapnya malam, hal ini diibaratkan dengan benang putih dari benang hitam dan tidak ada kesamaran di sana dengan firman-Nya مِنَ الْفَجْرِ sebagaimana didalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Abdillah al Bukhrori dari Sahal bin Sa'ad berkata: Ketika turun ayat ("Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam") dan belum diturunkan ayat lanjutannya yaitu ("dari fajar"), ada diantara orang-orang apabila hendak shaum maka mereka mengikatkan seutas benang putih dan benang hitam di kedua kakinya. Dia meneruskan makannya hingga jelas terlihat perbedaan dari kedua benang itu. Maka Allah Ta'ala kemudian menurunkan ayat lanjutannya ("dari fajar"). Dari situ mereka mengetahui bahwa yang dimaksud (dengan benang hitam dan putih) adalah malam dan siang"… (Tafsir al Qur’an al Azhim juz I hal 512 – 513)

Imam Bukhori meriwayatkan dari Anas dari Zaid bin Tsabit berkata: "Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kemudian Beliau pergi untuk melakanakan shalat. Aku bertanya: "Berapa antara adzan (Shubuh) dan sahur?". Dia menjawab: "Sebanyak ukuran bacaan lima puluh ayat".

Dengan demikian waktu dibolehkannya seseorang makan, minum dan berjima’ pada saat Ramadhan adalah sejak waktu malam hingga waktu fajar sebagaimana penjelasan diatas.

Adapun waktu malam yang dimaksud adalah maghrib, sebagaimana diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari 'Ashim bin 'Umar bin Al Khaththob dari bapaknya berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika malam telah datang dari sana dan siang telah berlalu dari sana serta matahari telah tenggelam, maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka ".

Ibnu Hajar mengatakan bahwa makna “Jika malam telah datang dari sana” yaitu dari arah timur seperti yang ditunjukkan oleh hadits setelahnya—Bukhori meriwayatkan dari Ibnu Abu Aufa berkata; Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam suatu perjalanan yang ketika itu beliau berkata kepada seseorang: "Turunlah disini dan siapkan minuman buatku". Orang itu berkata: "Wahai Rasulullah, bukankah masih ada matahari?" Beliau berkata, lagi: "Turunlah (berhenti disini) dan siapkan minuman buatku". Orang itu berkata, lagi: "Wahai Rasulullah, bukankah masih ada matahari?" Beliau berkata, lagi: "Turunlah dan siapkan minuman buatku". Maka orang itu berhenti lalu memberikan minuman kepada Beliau, lalu Beliau minum kemudian melempar sesuatu dengan tangan Beliau ke suatu arah lalu bersabda: "Apabila kalian telah melihat malam sudah datang dari arah sana maka orang yang puasa sudah boleh berbuka ".—maksudnya adalah datangnya gelap secara fisik.

Didalam hadits ini disebutkan tiga hal yang meski pada dasarnya bersesuaian namun terkadang secara lahiriyah tidaklah bersesuaian. Terkadang datangnya malam diperkirakan dari arah timur dan kedatangannya itu bukanlah hakikatnya akan tetapi adanya sesuatu yang menutupi sinar matahari, demikian pula terhadap berlalunya siang. oleh karena itu ia diikat dengan perkataan “terbenamnya matahari” yang menunjukkan persyaratan kepastian datangnya malam dan berlalunya siang. Yang demikian dikarenakan keduanya adalah dengan sarana terbenamnya matahari bukan karena sebab lain. (Fathul Bari juz VI hal 215)

Dan makna tenggelamnya matahari adalah terbenam seluruhnya, sebagaimana disebutkan oleh pemilik kitab “Tuhfatul Ahwadzi”.

Kemudian masuknya waktu maghrib di setiap negeri disesuaikan dengan tenggelamnya matahari dari pengamatan dan penglihatan penduduk negeri itu yang kemudian ditandai dengan kumandang adzan maghrib. Dan seandainya seorang muadzin mengumandangkan adzan maghrib sebelum masuknya waktu maghrib maka hal itu tidak menjadi patokan dibolehkannya seorang yang berpuasa untuk berbuka karena persyaratan tenggelamnya matahari belumlah terpenuhi. Jadi yang menjadi sandaran berbuka bukanlah semata-mata adzan maghrib karena seorang muadzin bisa salah mengumandangkannya—sebelum masuk waktuny—akan tetapi yang menjadi sandaran adalah tenggelamnya matahari secara sempurna.

Sedangkan waktu akhir seseorang diperbolehkan makan, minum dan berjima adalah ketika dia meyakini telah tampak jelas fajar kedua atau yang dikenal dengan fajar shadiq. Dinamakan shadiq (fajar sebenarnya) karena telah jelas dan tampak waktu shubuh yang ditandai dengan warna putih yang menyebar di ufuk, sebagaimana dijelaskan didalam kitab ‘al Mausu’ah al Fiqhiyah”

Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,”Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari maka makan dan minumlah sehingga Ibnu Ummu Maktum mengumandangkan adzannya. Dia adalah seorang buta yang tidak mengumandangkan adzan sehingga dikatakan kepadanya,”sudah pagi, sudah pagi.” (Muttafaq Alaih)

Didalam riwayatnya yang lain Bukhori menyebutkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa Bilal biasa melakukan adzan (pertama) di malam hari, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummu Maktum melakukan adzan, karena dia tidak melakukan adzan kecuali sudah terbit fajar". Al Qasim berkata: "Jarak antara adzan keduanya itu tidaklah lama melainkan bila yang satunya naik maka yang satunya lagi turun (maksudnya naik ke dan turun dari menara) ".

Sehingga barangsiapa yang makan atau m (eminum sebelum masuk waktu maghrib yang ditandai dengan terbenamnya matahari atau setelah terbit fajar shadiq maka diwajibkan baginya mengqadha puasanya. Sedangkan barangsiapa yang berjima’ sebelum masuk waktu maghrib atau setelah terbit fajar shadiq maka diwajibkan baginya kafarat, yaitu membebaskan seorang budak jika ia tidak menyanggupinya maka berpuasa dua bulan berturut-turut dan jika ia tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin.

Sedangkan untuk mandi junub seseorang yang berpuasa maka boleh dilakukan setelah masuk fajar shadiq dan hal itu tidaklah membatalkan puasa. (baca : Hukum Mandi Junub setelah Shubuh pada Bulan Ramadhan)

Wallahu A’lam (em)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar