02 April 2010

Cobaan Umat dalam KTT Arab

Ketika PM Turki menyatakan di depan KTT Arab bahwa nasib Istanbul terkait dengan nasib Al-Quds dan nasib Turki terkait dengan nasib dunia Arab, seakan ia hanya berkicau. Sebab mayoritas pendengarnya dari elit Arab memiliki pendapat lain dalam masalah ini.

(1)

Receb Taeb Erdogan mengejutkan dan mengingatkan kita soal hakikat strategi yang dilupakan atau sengaja dilupakan elit Arab lainnya soal keberhasilan Israel dalam yahudisasi Al-Quds dan mengusir warga Palestina dari sana. Menurut Erdogan, keberhasilan Israel itu bisa membuat ia leluasa menguasai kawasan. Bukan hanya perluasan jajahan dan pemukiman tapi juga Israel sebagai ujung proyek hegemoni barat; pelindung hakiki negara Israel. Jika Israel menguasai semua kawasan, tak seorang pun selamat dari bahaya, bukan saja dunia Arab, tapi juga Turki dan Iran. Sebab dalam hal ini Al-Quds bukan saja kota Palestina biasa yang sudah diyahudikan, tapi ia symbol dunia Islam seluruhnya.

Erdogan menyebut tindakan Israel di Al-Quds sebagai tindakan gila. Ini analisis tepat dari sisi strategi. Karenanya, jika kegilaan ini berlanjut, yang tidak masuk akal dipaksa masuk akal, yang tidak riil dipaksa menjadi realitas, dan memaksakan pihak lain dengan kuat sehingga mereka akan semakin kalap dan berusaha memaksakan pihak lain.

Ini yang disadari PM Turki sehingga seniman Murid Barghoti menyebutnya sebagai satu-satunya orang Arab tulen. Sayangnya elit-elit Arab seluruhnya justru memperlakukannya dengan sikap tidak peduli. Reaksi KTT Arab dalam mengecam sudah kehilangan makna dan fungsi, keputusan mengingatkan tidak sepadan dengan tingkat tantangan dan bahaya. KTT hanya membantu warga Al-Quds dengan 500 juta dolar dan meminta bantuan kepada Mahkamah Internasional yang sebelumnya sudah mengecam tembok rasial Israel. Namun Israel meremehkan resolusi itu dan menerapkan semua rencananya secara penuh yang didukung negara-negara barat dan Amerika.

(2)

Padahal ketika KTT Arab di Sirte, tantangan mereka begitu kentara. Netanyahu mengumumkan di Washington bahwa Al-Quds tidak perlu dibahas lagi dalam perundingan dan aksi yahudisasi serta pengusiran warga Palestina dari sana tidak akan dihentikan. Sehingga runtuhnya masjid hanya soal waktu. Sebab aksi warga pemukim yahudi menyerang masjid degan kawalan polisi Israel menjadi kegiatan sehari-hari, selain pembangunan pemukiman yang menguat di Tepi Barat, lembaha Jordania dan Golan.

Bahkan lebih keras lagi Israel menantang dengan menguasai masjid-masjid tua dan diubah menjadi milik yahudi, seperti masjid Ibrahimi di Hebron dan Bilal bin Rabbah di Betlehem.

Netanyahu berhasil menggagalkan janji Obama di awal tahun soal Palestina untuk menghentikan pemukiman yahudi sebagai pembuka perundingan yang bisa melancarkan pendirian negara Palestina. Bahkan Israel menantang wakil presiden Amerika Joe Bidden saat berkunjung ke kawasan 9 Maret ini dengan mengumumkan akan membangun 1600 unit pemukiman baru. Sehingga Bidden harus kikuk dan sempat terjadi ketegangan hubungan antara kedua negara.

Pemerintah Netanyahu melakukan itu sebelum KTT Arab digelar dan ia tidak resah dengan reaksi Arab. Ia yakin KTT tidak akan berdaya berbuat dan tidak akan mampu mengambil keputusan politik yang berani (misalnya dengan menarik prakarsa perdamaian Arab atau memutus hubungan dengan Israel dalam perdangan).

Israel bahkan mengolok-olok KTT itu di media massa mereka. Israel lebih resah atas reaksi sebagian negara barat yang passport warganya dipalsukan Israel dan digunakan untuk membunuh Mahmud Mabhuh di Dubai. Sampai-sampai Inggris mengusir salah satu pejabat Mossad di dubes Israel di London. Israel resah karena reaksi yang sama bisa terjadi di Irlandia, Autralia, Perancis, dan Jerman setelah passport warganya dipalsukan Israel.

Sungguh pemandangan yang ironis.

(3)

Analisis Israel terhadap sikap Arab tidak salah. Sebab dalam KTT Sirte, Mesir dan Jordania menolak menggunakan KTT sebagai alat penekan Israel. Sebelumnya kedua sudah menolak keputusan menganulir prakarsa perdamaian Arab. Pada saat delegasi Suriah mengusulkan KTT tandingan, menlu Mesir keberatan sebab itu tidak ada dalam kamus “aliran moderat” sehingga mengusulkan KTT itu dengan nama KTT Al-Quds.

Hasil KTT Arab kali ini tidak mengagetkan. Raja Saudi dalam KTT Ekonomi Arab awal tahun lalu mengumumkan bahwa pihaknya tidak bertahan lama dalam meja perundingan. Namun toh tetap saja prakarsa perdamaian Arab masih bertahan. Elit Arab tidak memiliki keberanian untuk membekukan prakarsa itu.

Jika mengamati indikasi hubungan Arab – Israel, tak akan heran terhadap keputusan sikap KTT Arab saat ini. Sebab beberapa hari sebelum KTT digelar (24/3) Koran Asy-Syoroq Mesir melansir bahwa lobi yahudi di Amerika (AIPAC) menyampaikan penghormatan kepada Mesir karena membangun tembok baja antara Sinai dan Gaza. Kepala Lemga Studi Politik Timur Tengah, Robert memuji langkah Mesir sebagai “matang dan berani” karena akan semakin mencekik Hamas.

Pada saat pembangunan pemukiman yahudi dan yahudisasi Al-Quds semakin meningkat, Koran Asy-Syarq Ausath menurunkan laporan bahwa ada kemajuan normalisasi Israel dan Maroko. Di gelar sejumlah konferensi di Maroko. Di antaranya konferensi internasional yahudi Maroko di Marakish yang diikuti oleh 17 tokoh Israel. Di Rabat digelar konferensi tentang Holocoust yang dialami Yahudi.

Untuk pertama kalinya tahun ini festival Janadiriah di Saudi menyerukan untuk ikut dalam kampanye normalisasi dengan Israel.

Sementara di Tepi Barat, aparat keamanan Abbas melakukan tindakan represif terhadap unjuk rasa menentang tindakan Israel dan mencegah meletusnya Intifadhah ketiga.

(4)

Setiap kali sikap menyerah Arab terhadap Israel dikritik, suara kritikan itu dibungkam karena dianggap pilihan lain adalah perang. Padahal Israel tidak menutup kemungkinan pilihan itu dan melakukannya. Namun obsesi Arab terlalu rendahan. Sebab tidak seorang pun di antara mereka ingin memerdekakan Palestina. Harapan mereka maksimal tidak membiarkan Palestina. Penulis mengira, operasi perlawanan sekarang ini, para elitnya tidak berfikir akan mewujudkan kemerdekaan Palestina, namun hanya sebatas memberikan pelajaran kepada Israel bahwa penjajahan itu membebani. Beban terberat adalah penarikan Israel dari Jalur Gaza. Meski tak seorang pun mengklaim bahwa pemerintah Hamas di sana (Jalur Gaza) bahwa pemerintahan Hamas berhasil mewujudkan sesuatu pada level kemerdekaan yang diinginkan. Namun tidak seorang pun meragukan bahwa keberadaan Hamas telah menghalangi perdagangan Palestina dan penyelewenangan terhadap prinsip dasarnya. Maka perpecahan saat ini di Palestina yang dianggap sebagai perebutan kekuasaan adalah penyederhaan yang dimanipulasi. Sebab pada intinya itu perbedaan cara menyikapi masalah Palestina. Apakah perlawanan itu solusi ataukah menyerah dan melakukan perundingan yang tidak menghasilkan apapun selama 19 tahun?

Beberapa hari lalu (25/3) koran Al-Hayah London melansir wawancara dengan Ramadhan Salkh, sekjen Jihad Islami. Ketika ditanya alternative Arab dalam berinteraksi dengan Israel, ia menjawab, tidak dituntut dari negara Arab (oleh negara barat dan Israel) saat ini untuk menyerah atau masuk dalam peperangan. Yang dituntut adalah Arab harus komitmen pada batas-batas “tidak perang dan tidak pula damai” dan kemudian membiarkan Palestina setelah itu mengurus urusan mereka dengan Israel.

Bahkan tuntutan terakhir ini saja sulit. Sebab keputusan Arab tidak lagi independen. Ada sikap berkeras Israel dan Amerika untuk menutup dan menghapus masalah Palestina dengan tandatangan Palestina dan kesepakatan Arab!! (bn-bsyr/dt)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar