Anda pasti tak menyangka bahwa Vanssa Chocolate yang begitu kondang itu merupakan produk rumahan, bukan produk pabrik.
Adalah Farida Ariyani yang memproduksi Vanssa Chocolate ini. Dibantu oleh sekitar 20 orang, ia setiap hari menggumuli usaha pembuatan cokelat ini. Ketekunan dan kreativitas menjadi modal utama Farida untuk mengembangkan usahanya.
Farida Ariyani memang tergolong perempuan yang beruntung. Sedari kecil wanita asal Malang yang kini tinggal di Gresik ini sudah mendapatkan pendidikan kewirausahaan dari keluarganya. Seperti nenek buyutnya, kebetulan ia juga bukan tipe wanita yang senang berpangku tangan, diam, dan bermalas-malasan.
Ada nasehat dari nenek buyutnya yang hingga kini masih ia kenang. Yaitu agar ia tidak sering-sering minta uang dari suami. "Jadi perempuan jangan suka minta uang suami. Nanti suami cepat marah," ujar Farida menirukan nasehat turun temurun yang sering diucapkan oleh ibunya itu.
Maka, selepas menikah dengan Rudi Rachmansyah pada 1987, Farida yang akrab dipanggil Ida ini rajin mencari uang sendiri. Ia membuka usaha katering kecil-kecilan dan membuka les membuat kue. Padahal, sebetulnya, penghasilan sang suami yang seorang pengusaha di Gresik terbilang lebih dari cukup.
Toh, dari tahun ke tahun, usaha awal Ida itu tidak maju. Sekitar 10 tahun kemudian, yaitu tahun 1998, usaha dagang sang suami juga terpukul krisis moneter. Utang sang suami di bank pun menumpuk. "Saat itu saya berada di titik nol. Setiap bangun selalu takut kalau ingat punya utang," ujarnya.
Maka, di tengah himpitan kesulitan tersebut, Ida kemudian mencari inspirasi ke rumah neneknya di Malang. Di sana ia menemukan alat-alat pembuatan cokelat, sirup, dan cake milik sang nenek, Sini Aminah. Alat-alat yang teronggok di gudang tersebut adalah alat-alat usaha sang nenek yang sekarang sudah berhenti, walaupun izin dari Departemen Kesehatan masih berlaku. "Maka, saya pikir, kenapa tidak meneruskan saja usaha nenek," kata Ida.
Setelah merenung, Ida kemudian memutuskan mengolah cokelat. Waktu itu, Ida yakin, pasar makanan cokelat besar karena banyak orang menyukai makanan olahan dari cokelat. "Kalau cake atau sirup, kok, berat rasanya," tutur ibu satu anak ini.
Maka itu, dengan modal Rp 1 juta hasil menjual kalung dan cincin, ia menghidupkan kembali usaha sang nenek. "Saya rekrut pembantu saya menjadi karyawan," ujarnya. Ternyata cokelat buatannya enak, bahkan lebih enak dari buatan neneknya. Karenanya, ketika mulai dipasarkan, cokelat buatan Ida langsung laris.
Produknya sering ditolak pemilik toko dan swalayan
Perjuangan Farida Ariyani membesarkan Vanssa Chocolate ternyata penuh lika-liku. Produknya sering ditolak pemilik toko dan swalayan. Di tengah jalan, Farida juga harus merelakan mobil pribadi dan tanah miliknya dijual untuk menambah modal usahanya.
Farida Ariyani, atau kerap disapa Ida, sadar bahwa membesarkan usaha cokelat rumahan yang mereknya belum tenar, sangatlah sulit. Apalagi jika dia harus bersaing dengan produk buatan pabrik atau cokelat impor yang iklannya gencar ditayangkan di televisi.
Sejak tahun 2000, Ida masih menggunakan merek cokelat warisan sang nenek, yaitu SA. Namun menjelang tahun 2004, Ida mengganti merek produknya dengan nama Vanessa by SA.
Awalnya, karena keterbatasan modal, dia hanya membuat cokelat Vanessa saat momen tertentu. "Saya hanya membuat cokelat Vanessa sebelum Lebaran, Natal, tahun baru, atau Valentine saja," ujarnya.
Sekali produksi, walaupun jumlahnya tidak banyak, Ida bisa mempekerjakan empat karyawan musiman. Tapi karena bisnisnya musiman, karyawannya tak betah. Tak ingin terus menerus kehilangan karyawan, pada 2004 Ida mulai serius menggarap bisnisnya. Ia kemudian membentuk PT Vanessa.
Hal pertama yang dilakukan Ida adalah mematenkan produknya. Saat itulah, merek cokelatnya berganti lagi. Sebab, "Nama Vanessa Chocolate ternyata sudah ada. Jadi, saya pakai nama Vanssa," jelas Ida.
Lalu, Ida bergabung dengan Pusat Penelitian Cokelat dan Kopi di Jawa Timur. Alhasil, dia jadi tahu, agar tahan lama pengemasan cokelat harus higienis dan tidak terkena udara. Ida lantas membuat ukuran cokelat Vanssa, hanya untuk sekali makan saja. Satu keping cokelat berbentuk segi empat berbobot 10 gram.
Supaya produknya unik, Ida menambahkan aneka isi di dalamnya. Antara lain blueberry, manisan buah, kacang, dan ganache (cairan cokelat). Selanjutnya, Ida membundel cokelat Vanssa sedemikian rupa, sehingga tiga keping cokelat bisa dibanderol Rp 10.000. "Marginnya hanya 25%," ujar Ida merendah.
Agar pemasaran cokelat Vanssa meluas, Ida tak segan keluar masuk toko, swalayan dan mal, untuk menjajakan produknya. Ia mengaku sering mengalami penolakan. "Tanpa melihat atau mencicipi lebih dulu produk saya, mereka sudah menolak memajang," kenang Ida.
Untungnya Ida tak putus asa. Berkat kegigihannya, kini Vanssa bisa dijumpai di sekitar 30 toko dan swalayan di Surabaya. Tak hanya itu, sejak tahun 2005 Ida sudah rajin menyambangi aneka pameran yang ada. Dalam sebulan, rata-rata ia bisa dua kali ikut pameran.
Untuk mencapai semua itu, butuh pengorbanan besar. "Saya sampai jual tanah dan mobil pribadi, laku Rp 40 juta buat menambah modal usaha," ujar sulung dari tiga bersaudara ini. Beruntung, suaminya terus mendukung, sehingga usaha Vanssa Chocolate pun mapan.
Mencari celah pasar ekspor
Walaupun bisnis cokelat merek Vanssa Chocolate miliknya mulai mapan, Farida Ariyani terus berupaya mengembangkan bisnisnya. Selain melakukan inovasi-inovasi untuk menghasilkan rasa baru, Farida juga tidak bosan mencari celah menembus pasar ekspor.
Sejak tahun 2005, Farida Ariyani atau Ida rajin ikut pameran di berbagai kota. Ida yakin, pameran merupakan ajang yang baik untuk mempromosikan produknya. Maka, di setiap pameran, dia berupaya memperkenalkan cokelat merek Vanssa Chocolate ke khalayak ramai.
Perhitungan Ida tidak meleset. Setiap kali mengikuti pameran, respon masyarakat selalu bagus. Tengok saja pada pameran produk UKM di Jakarta Convention Center (JCC) beberapa pekan silam. Ida yang waktu itu memajang produknya di bawah stan milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengaku bisa meraup omzet penjualan rata-rata Rp 2 juta sehari.
Sementara saat ikut Pekan Raya Jakarta (PRJ) di Kemayoran, Jakarta Utara beberapa bulan lalu, Ida bisa mencatatkan penjualan sekitar Rp 1 juta per hari. "Waktu itu tempat saya di Hall C, jadi agak sepi," tuturnya.
Hasil yang gemilang juga dia capai pada pameran produk cokelat sekitar lima bulan silam. Pada tiga hari pertama pameran yang berlangsung selama empat hari itu, Ida mampu meraup penjualan di atas Rp 10 juta. Padahal, stan milik Ida merupakan salah satu dari dua stan usaha kecil menengah (UKM) yang ikut dalam pemeran tersebut. Peserta lainnya rata-rata adalah pabrik besar.
Keberhasilan Ida menjual Vanssa saat pameran berbuah pada banyaknya pihak yang ingin menjadi agennya. Saat ini Ida sudah punya tiga agen di Jakarta, dan masing-masing satu agen di Bali, Yogyakarta, Surabaya, dan Kalimantan.
"Sebenarnya yang antri mau jadi agen banyak, tapi saya tolak karena rata-rata mau kerjasama dengan sistem konsinyasi, bukan beli putus," ujar ibu satu anak ini. Pada tahun 2005 pula, Ida membuat satu keputusan penting. Dia membangun rumah produksi baru di Sidoarjo. "Biar dekat pemasaran di Surabaya," ujarnya Ida.
Selain sibuk mengurusi penjualan Vanssa Chocolate ke seluruh daerah, Ida tak lupa terus berinovasi untuk memperbanyak rasa produk cokelatnya. Tahun ini, Ida sukses merilis rasa baru, yaitu cokelat bebas gula, rasa mint, dan rasa kurma.
Sesuai harapan Ida, pada Idul Fitri dan Hari Raya Haji tahun ini, cokelat rasa kurma kreasinya laris manis. Bahkan, ada satu importir umum yang khusus memesan cokelat buatannya untuk dijual di Timur Tengah sebagai oleh-oleh haji. "Waktu musim haji, pesanannya sampai 500 kg," ujar Ida berbinar.
Ida yang selalu mengandalkan bahan cokelat lokal ini pun tergiur dengan manisnya pasar ekspor Timur Tengah. Dalam waktu dekat, perempuan 41 tahun ini bakal mengikuti pameran produk yang diselenggarakan Kedutaan Besar Indonesia di Jeddah. "Saya pengen cari agen disana," ujarnya bersemangat.
Ida yakin, produknya bakal diterima oleh pasar luar negeri. Sebab produk cokelatnya bisa tahan lama. "Dengan pengemasan yang higienis, produk saya bisa tahan sampai satu tahun," ujar Ida yang saat ini mempekerjakan 20 karyawan. (fn/kn) www.suaramedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar