[Al-Islam 501] KASUS mafia pajak yang dilakukan mantan pegawai Ditjen Pajak, Gayus Halomoan Tambunan, tampaknya masih akan terus bergulir ke mana-mana. Apalagi Gayus mengaku bahwa ia hanyalah makelar kasus (markus) pajak kelas teri. Menurut Kordinator Transparency International Indonesia (TII), Teten Masduki, "Pengakuan Gayus menguatkan indikasi bahwa apa yang ia lakukan memang hal yang lumrah dilakukan para pegawai pajak." (Metronews.com, 27/3/2010).
Mencuatnya gejala markus pajak tentu membuat geram banyak kalangan, khususnya mereka yang selama ini mengaku taat pajak. Bahkan sampai muncul gerakan untuk memboikot pajak alias menolak bayar pajak melalui jejaring dunia maya, facebook (Antaranews.com, 29/3/2010).
Gerakan boikot pajak tentu mudah dipahami. Pasalnya, selama ini dengan berbagai cara Pemerintah gencar mendorong masyarakat untuk taat membayar pajak. Pemerintah antara lain selalu menekankan, tanpa pajak pembangunan tidak akan bisa berjalan. Jika pembangunan tak berjalan, Pemerintah tentu tak bisa mensejahterakan rakyat. Faktanya, pos penerimaan APBN dari sektor pajak memang selalu menempati posisi yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir ini, mencapai 75-80 persen dari total penerimaan APBN.
Karena itu, ketika pajak yang notabene uang rakyat itu ternyata banyak dikorupsi, tentu saja banyak yang marah.
Namun demikian, tulisan berikut tidak akan menyoroti gejala markus pajak yang selama ini diributkan. Tulisan ini justru ingin mempertanyakan: Haruskah pajak menjadi sumber utama penerimaan negara? Tidak cukupkah Pemerintah mengandalkan sumberdaya alam negeri ini yang melimpah-ruah untuk mensejahterakan rakyatnya? Lebih dari itu, mungkinkah Pemerintah bisa mensejahterakan rakyatnya tanpa harus memungut pajak dari mereka?
APBN Dibiayai Uang Rakyat (Pajak)
Sebagaimana diketahui, Ditjen Pajak telah berhasil membukukan penerimaan pajak pada tahun 2009 sebesar Rp 565,77 triliun atau 97,99 persen dari target (Okezone, 27/1/2010).
Untuk tahun 2010 ini, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, target penerimaan negara (lewat pajak) adalah sekitar Rp 742 triliun (Jpnn.com, 24/3/2010).
Bandingkan dengan penerimaan negara dari sektor non pajak. Dalam RAPBN 2009, misalnya, Pemerintah memperkirakan sektor penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mampu menyumbang sebesar Rp 295,3 triliun. Target penerimaan sebesar itu diperoleh dari sektor migas (minyak bumi dan gas), sektor pertambangan umum, kehutanan, laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pendapatan dari BLU dan PNBP lainnya.
Jelas, dibandingkan dengan penerimaan dari sektor pajak, penerimaan negara dari sektor non-pajak sangat kecil. Ini sekaligus menunjukkan, bahwa selama ini pengelolaan negara betul-betul dibiayai dari pajak yang notabene sebagian besarnya adalah uang rakyat!
Belanja APBN: Tidak Pro Rakyat!
Lalu bagaimana dengan alokasi pengeluaran dari APBN ini? Sebagaimana diketahui, dalam APBN Perubahan 2010, anggaran pengeluaran (belanja) negara membengkak Rp 57 triliun menjadi Rp 1.104 triliun. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, penambahan belanja sebesar Rp 57 triliun itu dianggarkan antara lain untuk belanja pemerintah pusat (K/L) Rp 45 triliun dan transfer ke daerah naik sebesar Rp 11,8 triliun (Investor Daily Indonesia 20/3/ 2010).
Ironisnya, pada tahun 2010 ini belanja subsidi direncanakan hanya sebesar Rp 144,3 triliun (21% dari belanja Pemerintah Pusat) atau turun sebesar Rp 15,5 triliun (10%) dibandingkan 2009. Subsidi non energi tahun 2010 dialokasikan hanya sebesar Rp 44,9 triliun (31% dari belanja subsidi) atau turun sebesar Rp 12,5 triliun (22%) dibandingkan tahun 2009. Penurunan belanja subsidi non energi terbesar pada obat generik (100%) dan pupuk sebesar Rp 7,1 triliun (39%).
Dalam RAPBN-P 2010 ini, program ketahanan pangan hanya dianggarkan Rp 14,252 triliun. Alokasi untuk perlindungan sosial hanya sebesar Rp 3,4 triliun. Sebaliknya, pembayaran pinjaman utang luar negeri yang dimasukan ke dalam skema pembiayaan RAPBN-P 2010 sebesar Rp 16,924 triliun (News.id.finroll.com, 1/4/2010).
Selain itu, justru anggaran yang pro rakyat terus mengalami penurunan. Pada APBN 2010 ini, anggaran pelayanan di Puskesmas dan jaringannya turun dari Rp 2,64 triliun menjadi hanya Rp 1 triliun (turun 62,12 persen)..Anggaran untuk pendidikan dasar turun dari 37,1405 triliun rupiah pada tahun 2009 menjadi Rp 31,704 triliun dalam RAPBN 2010. Subsidi pangan turun dari Rp 12.987,0 M menjadi hanya Rp 11.844,3 M. Subsidi pupuk juga turun dari Rp 18.437,0 M menjadi hanya Rp 11.291,5 M. Untuk kebijakan Energi Listrik, ada indikasi bahwa tarif listrik akan dinaikkan pada tahun 2010. Pasalnya, subsidi listrik berkurang cukup drastis, yakni hanya Rp 40.433,8 M atau hanya separuh dari subsidi yang diberikan Pemerintah pada tahun 2008 sebesar Rp 83.906,5 M. Belanja bantuan sosial (Jamkesmas, BOS, raskin, dll) juga mengalami penurunan sebesar 11% atau hanya Rp 8,6 triliun.
Pengurangan belanja subsidi dan bantuan sosial ini jelas akan menambah beban orang miskin. Karena itu, menurut APBN 2010 jelas tidak memihak pada kepentingan rakyat.
Di sisi lain, rata-rata setiap tahun seperempat keuangan negara habis untuk membayar bunga dan pokok utang. Tahun 2010 ini, pembayaran pokok utang dan bunganya mencapai Rp 174 triliun atau 25% dari belanja Pemerintah Pusat. Walhasil, selain tidak pro rakyat, pengeluaran APBN juga dihabiskan untuk membayar utang. Artinya, pajak yang ditarik dari rakyat ternyata sebagian besarnya dipakai untuk membayar utang dan bunganya yang tentu saja sangat menguntungkan pihak asing!
Sejahtera Tanpa Pajak
Dalam Kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, Syaikh Taqiyuddin an-Nahbani (2004: 232) menjelaskan bahwa dalam Islam, negara (Khilafah) bisa memperoleh sumber-sumber penerimaan negara yang bersifat tetap yaitu dari: harta fa’i, ghanîmah, kharaj dan jizyah; harta milik umum; harta milik negara; ‘usyr; khumus rikâz; barang tambang; dan zakat.
Dengan seluruh sumber di atas, negara pada dasarnya akan mampu membiayai dirinya dalam rangka mensejahterakan rakyatnya. Dengan demikian, dalam keadaan normal, pajak (dharîbah) sesungguhnya tidak diperlukan. Dalam negara Khilafah, pajak hanya dipungut sewaktu-waktu, yaitu saat kas negara benar-benar defisit. Itu pun hanya dipungut dari kaum Muslim yang kaya saja, tidak berlaku secara umum atas seluruh warga negara. Dalam hal ini, Khilafah tidak akan pernah memungut pajak secara rutin, apalagi menjadikannya sumber utama penerimaan negara (An-Nabhani, 2004: 238).
Hal ini tentu mudah dipahami karena begitu melimpahnya penerimaan negara. Sekadar contoh: jika sumberdaya alam (SDA) yang melimpah-ruah di negeri ini dikelola Pemerintah secara syariah, tentu hasilnya lebih dari cukup untuk mensejahterakan rakyat. Sayang, pengolaan SDA oleh Pemerintah menggunakan cara-cara kapitalis, antara lain dengan menyerahkan kepemilikannya (bukan sekadar pengelolaannya) kepada pihak lain melalui mekanisme Penanaman Modal Asing (PMA) dan privatisasi (penjualan kepada swasta/asing). Ini jelas bertentangan dengan pandangan syariah Islam yang menyatakan bahwa SDA yang jumlahnya tak terbatas termasuk milik umum. Hal ini berdasarkan hukum yang digali dari hadis Rasulullah saw.:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ: فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: hutan, air dan energi (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Akibat SDA negeri ini banyak dikuasai swasta/asing, hasilnya sebagian besar tentu hanya dinikmati oleh mereka. Pemerintah hanya memperoleh sedikit royalti plus deviden dan pajaknya yang tentu jumlahnya sangat kecil. Di sektor tambang seperti emas, misalnya, penerimaan Pemerintah dari pembayaran pajak PT Freeport yang menguasai tambang emas di Bumi Papua pada tahun 2009 hanya Rp 13 triliun, plus royalti hanya US$ 128 juta dan dividen sebesar US$ 213 juta. Padahal PT Freeport Indonesia (PTFI) sendiri meraup laba bersih pada 2009 sebesar US$ 2,33 miliar atau setara dengan Rp 22,1 triliun (Inilah.com, 2/12/2009). Itu pun yang dilaporkan secara resmi. Sebab, pada dasarnya kita tidak tahu berapa persis hasil dari emas Papua itu.
Di sektor migas, penerimaan negara juga kecil. Tahun 2010 ini penerimaan migas hanya ditargetkan sekitar Rp 120,5 triliun. Itu tentu hanya sebagian kecilnya. Yang mendapatkan porsi terbesar adalah pihak asing. Pasalnya, menurut Hendri Saparani, PhD, 90% kekayaan migas negeri ini memang sudah berada dalam cengkeraman pihak asing.
Tentu, itu belum termasuk hasil-hasil dari kekayaan barang tambang yang lain (batubara, perak, tembaga, nikel, besi, dll) yang juga melimpah-ruah. Sayang, dalam tahun 2010 ini, misalnya, Pemerintah hanya menargetkan penerimaan sebesar Rp 8,2 triliun dari pertambangan umum. Lagi-lagi, porsi terbesar pastinya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing yang juga banyak menguasai pertambangan di negeri ini.
Belum lagi jika negara memperhitungkan hasil laut, hasil hutan dan sebagainya yang selama ini belum tergarap secara optimal.
Karena itu, negeri ini sesungguhnya tidak memerlukan pajak untuk membiayai dirinya. Sebab, dari hasil-hasil SDA saja (jika sepenuhnya dimiliki/dikuasai negara), kas negara akan lebih dari cukup untuk mensejahterakan rakyatnya.
Pentingnya Mengelola Negara dengan Syariah
Jelas, dari secuil paparan di atas, semakin penting untuk mengatur negara ini dengan syariah Islam, termasuk dalam pengaturan ekonomi dan keuangan negara. Tentu amat penting pula kaum Muslim segara mewujudkan institusi penegaknya, yakni Khilafah Islam, yang memang merupakan satu-satunya institusi yang bisa menegakkan syariah Islam di tengah-tengah manusia. Hanya dengan penegakkan syariahlah—yang sekaligus merupakan wujud ketakwaan kita kepada Allah SWT—kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Hanya dengan ketakwaan kepada-Nya kaum Muslim akan menuai keberkahan-Nya, dari langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya:
]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ[
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS al-A'raf [7]: 96).
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []
KOMENTAR ALISLAM:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar