27 Juli 2011

Gusti Allah mBoten Sare

Setelah sekian lama tidak pernah naik angkutan kota, pagi ini saya terpaksa naik kendaraan umum yang katanya tidak nyaman. Ada beberapa alasan, Hari itu agak gerimis. Tempat tujuan tidak terlalu jauh, harus kembali lagi ke kantor dan sulit cari parkir kembali di kantor.

Sebuah angkot warna biru menepi menyambut lambaian tangan saya. Saya tengok sekelebat isinya. Kosong. Tidak ada satu orang pun penumpang di dalamnya.

Saya pilih duduk di depan, di sisi sopir. Senyumnya mengembang, menyambut kehadiran saya. Bau agaj harum pun mampir lewat indra penciuman saya.

Angkot pun berjalan kembali. Tidak terlalu cepat, tapi juga tidak terlalu lambat. Sampai lah angkot di depan sebuah perguruan tinggi yang biasanya cukup ramai. Beberapa angkot terlihat mangkal di depan pintu gerbangnya. Satu sama lain berebut penumpang, dan sepertinya juga mengambil posisi saling menghalangi.

Satu angkot berhenti persis di pintu gerbang. Masih kosong. Dua angkot antri di belakangnya, berhenti agak ke tengah jalan. Sudah ada 3 - 5 penumpang di dalamnya. Angkot lainnya berhenti di posisi paling depan dengan posisi agak melintang. Aha ... Angkot yang kosong tak mau jalan karena menunggu penumpang, angkot yang terisi penumpang tak bisa bergerak!

Profil angkutan umum ibu kota seperti tidak berubah. Jadi ingat hampir 30 tahun lalu ketika masih sering latihan lempar lembing (gelantungan di atas bus kota sambil pegangan besi di bawah atap bus). Tugas kernet, selain menagih ongkos kepada penumpang, adalah memperhatikan bus lain bertrayek sama, yang berusaha mengejar.

Kalau tidak ada bus pesaing, bus berhenti atau bergerak lambat seolah sedang menunggu penumpang. Tapi begitu kernet berteriak 'rapat belakang!' Maka sang sopir akan memacu bis secepat-cepatnya seperti dikejar setan.

'Tidak ikut mangkal pak?' Tanya saya.

'Tidak pak. Gusti Allah mboten sare,' katanya lirih. He he. Di ibukota masih ada manusia model begini, pikir saya.

'Kenapa pak?' tanya saya lagi.

'Mereka yang kerjanya menghambat rejeki orang lain, hidupnya tidak akan berkah. Rejekinya seret, seolah kucurannya dihambat Tuhan,' katanya.

'Apa iya pak?'

'Saya yakin.'

Mobil terus berjalan. Tidak ada tambahan penumpang. Dan sampai lah saya di tempat tujuan. Untuk pak sopir, sudah saya siapkan selembar lima puluh ribuan.

'Masih hujan, oom,' katanya ketika saya memberi isyarat untuk berhenti.

'Bisa antar sampai ke lobby gedung?' tanya saya.

Dengan sigap ia membelokkan mobilnya menuju lobby gedung. Saya pun bersiap turun, dan menyerahkan uang yang sudah disiapkan.

'Semoga ini bisa menambah rejeki bapak,' bisik saya.

'Terima kasih. Gusti Allah mboten sare,' katanya lagi.

Ketika saya membuka pintu, datang 3 orang, berumur setengah baya mendekat ke arah angkot yang saya tumpangi. Salah satunya menyapa sang sopir dengan sebuah pertanyaan indah.

'Mau borongan, pak?'

Saya tersenyum. Rejeki dariNya tidak pernah tertukar. Sekali lagi, Gusti Allah mboten sare.' Dan dari jarak agak jauh, saya perhatikan angkot itu bergerak dengan membawa 3 penumpang.

(Sudah dimuat di Harian Semarang edisi 20 Mei 2011, rubrik Ekonomi dan Bisnis/wi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar