Ini cerita soal teman saya yang lain. Cita-citanya, ingin jadi dokter. Dan dari sisi inteligensia, saya tidak meragukannya. Ia sangat pandai. Di kelas, ia biasa berada di ranking dua besar.
Yang saya ragukan adalah kondisi ekonomi keluarganya. Ia adalah anak tertua, dari empat bersaudara. Ayahnya sudah meninggal sejak si bungsu berusia 2 tahun. Dan sejak itu, ibunya menyambung hidup mereka berlima dengan berjualan gado-gado.
Satu hal yang saya kagumi dari kawan saya yang satu ini. Ia tidak pernah kehilangan optimisme sekalipun kondisi keluarganya memprihatinkan seperti itu. Ia bukan orang yang mudah menyerah pada nasib.
Usai lulus SMA, ia tetap mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri. Ia memiliki 2 pilihan : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Singkat cerita, ia diterima di UI.
Karena pertimbangan biaya, ia tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di Fakultas Kedokteran yang bergengsi. Ia memilih bekerja di sebuah perusahaan kecil, sambil kuliah di sore hari. Kuliahnya pun di Fakultas Ekonomi.
Beberapa kali saya bertanya padanya, apakah masih ingin jadi dokter? Ia menjawab, masih. Bahkan, - ini menurut saya, dengan agak sombong ia menyatakan, ia ingin menjadi orang yang lebih hebat daripada dokter.
Setiap kali ia menerima gaji bulanan, pasti ada dana yang ia sisakan untuk ditabung, dan ketika tabungannya sudah cukup banyak (karena karirnya juga cukup bagus), ia membeli sebidang tanah di lokasi yang cukup strategis. Di atas tanah itu, 12 tahun kemudian berdiri sebuah klinik 24 jam.
Walau sempat jatuh-bangun, klinik itu tetap bisa survive. Bahkan, dalam waktu beberapa tahun, klinik itu sudah berubah menjadi tempat praktek dokter bersama. Beberapa dokter spesialis praktek di waktu-waktu tertentu. Di bagian lain dari bangunan itu, ada sebuah apotik yang dimaksudkan untuk menunjang operasional secara keseluruhan.
Sekali waktu, saya berkesempatan bertemu dan berdiskusi agak lama dengannya. Di akhir pertemuan, saya menanyakan soal cita-citanya ketika masih di SMA. Soal keinginannya menjadi seorang dokter. Mudah-mudahan ia tidak tersinggung, pikir saya.
Ia tidak tersinggung. Bahkan ia dengan bangga mengatakan bahwa ia sudah mengubur cita-citanya menjadi seorang dokter. Mengapa? tanya saya. Untuk apa lagi jadi dokter? Di bangunan tempat praktek bersama para dokter ini, saya pimpinannya, katanya. 14 dokter spesialis yang berbeda keahliannya, sudah bisa saya bayar gajinya, lanjutnya.
Saya tidak bisa berkata-kata lagi. Dalam hati saya mengatakan, ya. Tidak perlu lagi anda jadi dokter karena saat ini anda sudah jadi bossnya para dokter.
Zainal Abidin
Ketua Tim Pendirian Akademi Kemandirian
www.zainalabidin.net
(Sudah dimuat di Harian Semarang, edisi jumat 2 Juli 2011/wi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar