Tiga tahun yang lalu, ia datang menemui saya. Niatnya ingin pinjam uang dua setengah juta rupiah untuk tambahan modal usahanya, sebagai pemasok alat-alat tulis ke beberapa toko fotocopy.
Seperti biasa, orang-orang seperti ini adalah 'santapan' harian saya. Jangan pernah berharap orang-orang seperti ini keluar dari ruangan saya dengan membawa uang yang diharapkan. Bahkan sebagian besar keluar dengan raut muka kecewa atau marah.
Seperti biasa, pertanyaan standarnya adalah, uangnya akan digunakan untuk apa? Ia menjawab, untuk tambahan modal. Ia pun menguraikan alokasi penggunaan dananya. Tak lupa pula, ia serahkan selembar proposal sederhana.
Pertanyaan selanjutnya, dari sejumlah dana yang dibutuhkan itu, berapa banyak yang ia miliki? Jawabnya, tidak ada sedikit pun. Jadi, ia menginginkan 100 persen kebutuhannya diperoleh dari saya. 'Memangnya saya mbahmu?' pikir saya.
Saya melirik ke arah sakunya. Ada sebuah handphone merk terkenal, yang harganya masih di atas satu jutaan. 'Kamu tinggal di mana?' tanya saya.
'Cibubur pak. Masih ngontrak,' jawabnya.
'Punya televisi?' Tanya saya lagi.
'Ada pak,' jawabnya lagi.
'Oke. Saya tidak mau membantumu. Kamu belum layak dibantu. Kamu masih punya handphone. Masih punya televisi, sepeda motor atau entah apalagi. Kalau boleh kasih saran, jual dulu handphone, televisi atau harta lain yang berharga.'
'Kalau kamu bersedia menjual itu semua, saya akan mempertimbangkan untuk membantu. Tanpa itu, jangan berharap,' sambung saya.
'Kenapa pak?' Ia bertanya.
'Siapa yang akan menikmati keuntungan dari usahamu?' tanya saya.
'Tentu saja saya, dan juga keluarga saya,' jawabnya.
'Oke. Untuk kepentinganmu dan keluargamu di masa depan, kamu tidak mau berkorban? Bahkan secara tersirat kamu minta saya berkorban untukmu? Maaf. Saya tidak mau,' kata saya.
Saya tahu persis, ia begitu kecewa. Dengan tetap menjaga senyum di wajahnya, - sebuah senyum kecut, ia pun pamit. Saya masih mengantarnya sampai ia naik sebuah sepeda motor, - maaf, butut.
* * * * *
Hari ini, orang yang tiga tahun lalu datang menemui saya, datang kembali. Pakaiannya sudah lebih rapi. Ia tidak lagi naik sepeda motor tuanya. Kendaraan sudah berganti jadi roda empat.
'Sesudah ketemu bapak dulu, terus-terang saja, bapak lah orang paling menyebalkan yang pernah saya temui. Hemat saya, bapak benar-benar raja tega. Sama sekali tidak punya rasa simpati pada kesulitan orang lain. Tapi setelah saya pikirkan lebih dalam, ternyata ada benarnya juga. Saya tidak mungkin berharap orang lain berkorban untuk saya, padahal saya sendiri tidak mau berkorban untuk diri saya sendiri?'
'Dua hari setelah ketemu bapak, saya menjual sepeda motor, televisi dan juga handphone. Dapat 2,9 juta. Yang 400 ribu saya gunakan untuk beli handphone bekas. Sisanya, sesuai proposal, saya belikan barang dagangan,' kenangnya. Ada air bening di sudut matanya.
'Terima kasih sudah ajarkan saya soal arti pengorbanan. Bapak lihat sendiri hasilnya. Dulu istri dan anak saya kecewa ketika sepeda motor dan televisi saya jual. Tapi kini mereka bisa tinggal di rumah yang lebih layak. Bisa diantar ke mana-mana dengan kendaraan yang tak bakal basah kehujanan.'
'Terima kasih sudah jadi guru yang menyebalkan. Orang seperti bapak lah yang membuat saya semakin tertantang untuk membuktikan, bahwa saya mampu! Orang seperti bapak lah yang membuat saya makin kuat! Terima kasih.
(Mohon maaf, agak narsis. Tapi saya akan tetap di jalur ini. Siap menjadi guru yang menyebalkan)
Zainal Abidin
Ketua tim Pendirian akademi Kemandirian
Www.zainalabidin.net/wi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar