Malam itu, seusai memberikan ceramah di depan ratusan audiens, yang hampir seluruhnya tenaga kerja asal Indonesia di Hongkong, saya menyempatkan diri untuk berthawaf (berputar-putar) di kota metropolis, Hongkong. Malam itu malam terakhir, karena esok sudah harus kembali ke tanah air.
Malam itu saya gunakan sebaik-baiknya untuk mengantar anak semata-wayang saya, yang kali ini ikut menyertai perjalanan, berkeliling Hongkong naik tram dan kereta api cepat. Sedikit waktu juga saya gunakan untuk membeli sedikit buah-tangan untuk keluarga dan kawan-kawan di tanah air.
Malam itu, puas berputar-putar, kami sedikit beristirahat, duduk-duduk di taman kecil di depan Time Square di pusat kota. Menyaksikan orang berlalu-lalang, dengan gerakan seperti berlari. Benar-benar sebuah kota yang dinamis.
Nyaris tiada sampah berserak. Antrian calon penumpang taksi tampak teratur. Tak ada pengemis dan peminta sumbangan yang tampak muda dan berbadan gagah yang mengedarkan map atau amplop. Tidak ada pengamen yang setelah diberi uang malah berhenti menyanyi.
Ketakjuban saya terhenti karena sapaan halus seorang ibu berkulit sawo matang. Pasti lah bukan penduduk lokal. Beliau sebangsa dengan saya, dari Indonesia. Kesulitan hidup menyeretnya ke Hongkong. Tahun ini, adalah tahun ke delapan belas beliau bekerja di Hongkong.
Sejak pagi hingga sore, beliau ikut mendengarkan ceramah kami. Dan malam itu beliau bercerita agak panjang. Sejak kepergiannya meninggalkan tanah air, sampai saat ini. Rentang 18 tahun, hanya diselingi dua kali pulang kampung. Itu pun tak lebih dari 7 hari.
Keputusan pergi ke Hongkong, karena suaminya meninggal, meninggalkan 7 orang anak. Yang sulung ketika itu berusia 12 tahun. Sebuah perlambang, betapa rasa tanggung-jawab seorang ibu, mendorongnya pergi ke sebuah negeri antah-berantah. Tanpa sanak-keluarga. Hanya untuk satu tujuan, agar anak-anaknya tetap hidup layak.
Malam itu, beliau juga bercerita, bahwa beliau sedang bermasalah dengan majikannya. Beliau di tampung di sebuah shelter yang dikelola oleh sebuah LSM lokal, sambil menunggu keputusan pengadilan.
Berpatokan pada kasus-kasus yang sudah diputuskan terdahulu, saya berharap beliau dimenangkan oleh pengadilan Hongkong. Jika beliau menang, beliau bisa mendapatkan sejumlah dana yang lebih dari cukup untuk menjalani hidupnya di tanah air, Indonesia.
Tak banyak yang saya katakan pada beliau. Hanya sepotong harapan dan doa, agar beliau tabah menghadapi cobaan, dan kasusnya berakhir happy ending. Dan malam itu, beliau memaksa saya untuk menerima dua potong roti, untuk kami nikmati bersama.
Usai menandaskan roti, beliau pun pamit. Kembali, harapan dan doa saya ucapkan untuk beliau. Tak cukup hanya bersalaman, saya mencium tangannya. Mudah-mudahan inilah tangan akan dicium oleh Nabi Muhammad, jika beliau diberi kesempatan berjumpa. Tangan yang kasar karena bekerja keras.
Hanya satu hal yang tak sampai hati saya tanyakan. Betul waktu beliau berangkat ke Hongkong, 7 anaknya masih kecil-kecil. Tapi setelah 18 tahun, mereka pasti sudah tumbuh dewasa. Tegakah mereka membiarkan ibu kandungnya menuai masalah di luar negeri, tanpa sanak-saudara?
Bu, kemana anak-anakmu?
Zainal Abidin
Ketua Tim Pendiri Akademi Kemandirian
Www.zainalabidin.net
(Sudah dimuat di Rubrik Inspirasi, Harian Semarang, 3 Juli 2011/wi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar