27 Juli 2011

Min Haitsu Laa Yahtasib

Saya ingin mulai tulisan ini dengan satu pertanyaan penting buat kita semua. Berapa penghasilan kita dalam satu bulan? Silahkan simpan angkanya dalam pikiran masing-masing.

Kemudian, jawab juga pertanyaan berikutnya, yang saya anggap lebih penting. Dari sejumlah penghasilan itu, apa yang paling awal kita belanjakan?

Menanyakan pertanyaan yang sama kepada banyak orang, menyebabkan saya menemukan banyak jawaban. Dari sekian banyak, saya ingin menyederhanakannya. Secara umum, kita membelanjakan penghasilan untuk membeli kebutuhan pokok. Bahan makanan, biaya sekolah, sewa rumah, bahan bakar, atau membayar rekening listrik, koran, air dan telepon.

Prioritas berikutnya adalah untuk membayar hutang atau pinjaman pada pihak lain, misalnya rekening kartu kredit, cicilan rumah, kendaraan atau peralatan rumah tangga.

Sampai di sini, banyak orang tersentak. Mengapa? Karena jumlah uangnya sudah nyaris habis, atau bahkan benar-benar habis. Sebagian lainnya, sudah habis uangnya sebelum seluruh kebutuhan itu terpenuhi.

Kalau jumlah penghasilan sudah pada posisi ini, bisa dipastikan bahwa jumlah uang yang bisa ditabung atau diinvestasikan relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Pertanyaan berikutnya, apakah kesejahteraan kita bisa bertambah jika kita tidak punya tabungan atau tidak berinvestasi?

So, kalau sudah begini, kapan waktunya memberi kepada orang lain?

Orang-orang yang pola hidupnya seperti di atas, saya sebut sebagai orang-orang yang menanti rejeki yang disangka-sangka. Mereka bekerja atau berusaha, dengan berfokus pada penghasilan yang bersifat rutin berupa gaji, bonus tahunan, komisi penjualan, uang saku, keuntungan dagang dan sebagainya.

Logikanya, jika ada rejeki yang disangka-sangka, pasti ada rejeki yang tidak disangka-sangka. Bagaimana mendapatkannya?

Mereka yang fokus pada rejeki yang tidak disangka-sangka, memberikan prioritas pengeluaran pada memberi. Setiap kali ia beroleh penghasilan, 'belanja' pertamanya bukan sembako tapi memberi. Bisa sedekah. Bisa zakat. Infak juga boleh. Ia mendahulukan hak orang lain daripada dirinya.

Dan ternyata, apa yang diberikan kepada orang lain yang berhak itu lah yang kemudian memancing rejeki yang tidak disangka-sangka. Dan, believe or not, jumlahnya jauh lebih besar dari rejeki yang disangka-sangka.

'Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.' (QS. Al Baqarah : 261).

Masih nggak percaya dengan JanjiNya?

(Sudah dimuat di Majalah Suara Cinta edisi Juli 2011, Rubrik Unggah/wi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar